Mintareja yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DEKOPINDA Rohul ini, mengatakan Tentang penghitungan Hasil Kompensasi yang tidak Transfaran sehingga hasil yang diterima tidak mampu mengangkat perekonomian masyarakat. jika dikalkulasikan Hasil yang diterima masyarakat hanya berkisar Rp. 8.500 sampai Rp. 50.000 per anggota Koperasi setiap bulannya.
“Parahnya lagi, mulai kegiatan Penanaman, Pemanenan, Penjualan dan Harga, hingga penghitungan hasil produksi kayu Akasia yang dikeluarkan dari areal kerjasama semua tidak jelas. Semua dilakukan Secara sepihak,” katanya.
Dia menambahkan Poin lainnya yang dianggap melecehkan Masyarakat adalah setiap proses pembayaran Kompensasi tidak pernah tepat waktu dan selalu berbelit-belit bahkan selalu tekor, termasuk perhitungan Daur ke 4, seharusnya 2019 lalu sudah dibayarkan, namun anehnya sampai juli 2020 ini, Surat permohonan Pembayaran dari KOPTAN-SS Desa Batas tidak pernah ditanggapi.
Surat KOPTAN-SS Desa Batas tanggal 29 Juni 2020 tersebut berisi dengan mengajukan 6 (enam) Poin Desakan, salah satunya, meminta kepada PT. SSL untuk mengakhiri Pola Mitra dan mengembalikan Lahan untuk tempat masyarakat bertani, karena lahan pertanian semakin sempit sementara penduduk semakin padat.
“Tidak terealisasinya kesepakatan pada MoU itu membuat masyarakat melalui KOPTAN – SS, meminta kepada Pihak terkait. untuk segera memproses serta merealisasikan pengembalian Lahan Masyarakat, karena semua Tahapan secara Prosedural sudah kami jalani. dan kami juga sudah membuat surat dan disampaikan Tembusan ke Bapak Presiden RI,” pungkasnya
Ditempat terpisah kepala DISKOPTRANSNAKER kabupaten Rokan Hulu Zul Hendri saat dimintai Penjelasanya terkait Konflik antara KOPTAN SIALANG SAKTI dengan Masyarakat Desa Batas yang tak kunjung selesai, dirinya mengatakan, Kalau Diskoptransnaker hanya pembinaan koperasinya, bukan terhadap kesepakatan mereka, “Tapi kalau masalah kompensasi yang diterima koptan dari PT SSL yang dianggap tidak wajar itu, kita harus cek juga,” ujarnya.