Lintas10.com, Medan – Penahanan ijazah oleh pihak Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 12 Medan, Sumatera Utara (Sumut) memantik tanggapan dari sejumlah pihak. Pasalnya, peristiwa penahanan ijazah ini dianggap menjadi preseden buruk didalam dunia pendidikan khususnya di Sumatera Utara.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara terpilih Zeira Salim Ritonga sangat prihatin melihat persoalan ini
Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah harusnya melaksanakan amanah konstitusi yakni mencerdaskan anak bangsa. Satu hal yang paling mendasar menurut wakil rakyat terpilih dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu bahwa pendidikan tidak diperkenankan untuk mengkomersilkan pendidikan sebab pendidikan adalah hak setiap warga negara yang ditanggung oleh pemerintah.
Berjumlah 20 % biaya pendidikan yang digelontorkan dari APBN haruslah benar- benar direalisasikan untuk meningkatkan pendidikan tandas Zeira Salim Ritonga.
Diberitakan sebelumnya, ijazah warga kurang mampu yang ditahan pihak sekolah SMA Negeri 12 Medan akibat tak mampu melunasi tunggakan iuran Uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sebanyak Tiga Juta Empat Ratus Ribu Rupiah, kini ijazah diserahkan kepada orang tua siswa.
Ironisnya, ijazah diantarkan tanpa stempel sekolah dan sidik jari siswa tersebut. Hal ini dinilai dari bentuk ketakutan pihak sekolah lantaran menjadi sorotan publik hingga berupaya memaksa orang tua murid untuk menerima ijazah tersebut meski belum distempel dan dibubuhi sidik jari.
” Mereka datang dua kali. Pertama semalam datang diantarkan kerumah, kami bingung karena uang SPP tunggakan itu belum ada, trus pagi tadi datang lagi, ditinggal begitu saja ” ucap Mawarni kepada Lintas10.com, Selasa (07/05/2024).
Tambahnya, pihak sekolah yang datang ada empat orang. Mereka datang hanya mengantarkan ijazah lalu berfoto tanda sudah diterima.
Setelah mereka pergi kami melihat ijazah tidak distempel dan tidak ada sidik jarinya.
” Sudah satu tahun setengah ijazah ini ditahan. Anak saya tidak bisa melanjutkan sekolah. Mau kerja pun tak bisa. Setelah lulus kemarin nganggurlah dirumah ” ucap Mawarni.
Mawarni menjelaskan, bahwa terkait uang SPP di Sekolah SMA Negeri 12 memang benar adanya. Ia juga mengatakan bahwa orang tua murid tak pernah dilibatkan untuk rapat soal uang sekolah. Sewaktu mendaftar kesekolah hanya diberikan berupa pilihan pembayaran uang sekolah.
” Sewaktu masuk sekolah orang tua tidak ada rapat. Datang mendaftar langsung diberikan tabel harga uang sekolah, mulai dari harga 300 ribu per bulan, 200 ribu perbulan dan paling murah 160 ribu rupiah per bulan. Saat itu kami bayarkan 800 ribu rupiah bersama uang baju seragam ” katanya menjelaskan.
Mawarni juga menepis, jika pihaknya tidak mendatangi sekolah untuk mengambil ijazah. Namun anaknya disuruh pulang saat datang mau sidik jari lantaran tidak membawa uang pembayaran SPP.
” Anak saya datangnya saat itu mau sidik jari. Tapi oleh guru tidak boleh karena belum melunasi SPP” kata dia.
Parahnya, peristiwa penahanan ijazah ini ternyata sudah berlangsung dua kali. Anak pertamanya juga pernah mengalami hal yang serupa.
” Pada tahun 2021 juga sudah pernah ijazah anak saya paling besar ditahan akibat tak mampu membayar SPP. Sepuluh bulan uang SPP belum kami lunasi, jadi ijazah ditahan, hingga terancam masuk pengguruan tinggi saat itu ” ujarnya. (Ly).