Lintas10.com, Medan – Terhitung satu setengah tahun lamanya penahanan Ijazah warga kurang mampu di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 12 Medan Jhuan Ondescar Rajagukguk (19) akibat tak mampu melunasi iuran Uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Hal ini pun memantik ragam tanggapan sejumlah pihak.
Atas sederet persoalan tersebut, Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Sumut, meminta Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) untuk mendalami adanya dugaan pelanggaran hukum maupun dugaan indikasi penyalahgunaan pemanfaatan dana bos pada SMA Negeri 12 Medan.
Dalam laporannya melalui PTSP Kejatisu, menerangkan bahwa pihak SMA N 12 Medan patut diduga telah melakukan pelanggaran hukum Pasal 9 ayat (2) Peraturan Sekjen Kemendikbudristek 1/2022 dan indikasi penyalahgunaan dalam penggunaan dana BOS serta Dana Komite sehingga terjadinya penahanan ijazah peserta didik yang telah lulus pada tahun 2023 lalu di SMA Negeri 12 Medan atas nama Jhuan Ondescar Rajagukguk.
Kehadiran JPKP Sumut yang merupakan bagian dari mata telinga Presiden Joko Widodo yang dibawahi langsung oleh KSP Staf Kepresidenan, bahwa JPKP terpanggil hadir untuk meluruskan persoalan yang dialami warga tersebut.
Pasalnya, Jhuan Ondescar Rajagukguk yang merupakan eks siswa di SMA N 12 Medan merupakan keluarga dari kalangan kurang mampu dan orang tuanya juga tercatat sebagai penerima program pemerintah Program Keluarga Harapan (PKH).
Dalam keterangannya Ketua JPKP Sumut Rudy Chairuriza Tanjung SH dengan tegas mempertanyakan dasar penahanan ijazah tersebut.
“Siswa yang ditahan ijazahnya tersebut merupakan warga dari keluarga golongan
tidak mampu dan penerima PKH, apakah dana BOS dan KOMITE tersebut nilainya sangat kurang, akan tetapi kami dapat
melihat adanya indikasi diduga Pihak SMA Negeri 12 Medan mencari keuntungan dari diterapkannya DANA KOMITE dan penggunaanya juga diduga tidak tepat sasaran, sehingga mengkambing
hitamkan siswa wajib menanggung beban pembiayaan yang tidak tepat
sasaran dengan cara menahan ijazah siswa tersebut karena tidak sanggup membayar komite” tanya Rudy, Selasa (14/05/2024).
Menyikapi hal tersebut, JPKP Sumut meminta Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Kejatisu agar mengusut tuntas dugaan indikasi penyalahgunaan manfaat dana bos dan penyalahgunaan dan komite di SMA Negeri 12 Medan pungkasnya.
Sebelumnya, ijazah warga kurang mampu yang ditahan pihak sekolah SMA Negeri 12 Medan akibat tak mampu melunasi tunggakan iuran Uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sebanyak Rp. 3.400.000,- (Tiga Juta Empat Ratus Ribu Rupiah).
Setelah menjadi sorotan publik, ijazah Jhuan Ondescar Rajagukguk yang sempat ditahan itu, langsung dan tergesa gesa diantarkan pihak sekolah SMA N 12 Medan, sehingga ijazah tersebut tidak berstempel sekolah dan tidak terdapat sidik jari siswa tersebut.
Hal ini dinilai dari bentuk ketakutan pihak sekolah lantaran menjadi sorotan publik hingga berupaya memaksa orang tua murid untuk menerima ijazah tersebut meski belum distempel dan dibubuhi sidik jari.
“Mereka datang dua kali. Pertama semalam datang diantarkan kerumah, kami bingung karena uang SPP tunggakan itu belum ada, selanjutnya pagi tadi datang lagi, ditinggal begitu saja ijazah ini” ucap Mawarni kepada Lintas10.com.
Tambahnya, pihak sekolah yang datang ada empat orang. Mereka datang hanya mengantarkan ijazah lalu berfoto sebagai bukti tanda sudah diterima.
Setelah mereka pergi kami melihat ijazah tidak distempel dan tidak ada sidik jarinya.
“Sudah satu tahun setengah ijazah ini ditahan. Anak saya tidak bisa melanjutkan sekolah. Mau kerja pun tak bisa. Setelah lulus kemarin nganggurlah dirumah ” ucap Mawarni.
Mawarni menjelaskan, bahwa terkait uang SPP di Sekolah SMA Negeri 12 memang benar adanya. Ia juga mengatakan bahwa orang tua murid tak pernah dilibatkan untuk rapat soal uang sekolah tersebut yang beralih sebagai uang komite. Sewaktu mendaftar kesekolah hanya diberikan berupa pilihan pembayaran uang sekolah.
“Sewaktu masuk sekolah orang tua tidak ada rapat. Datang mendaftar langsung diberikan tabel harga uang sekolah, mulai dari harga 300 ribu per bulan, 200 ribu perbulan dan paling murah 160 ribu rupiah per bulan. Saat itu kami bayarkan 800 ribu rupiah bersama uang baju seragam ” katanya menjelaskan.
Mawarni juga menepis, jika pihaknya tidak mendatangi sekolah untuk mengambil ijazah. Namun anaknya disuruh pulang saat datang mau sidik jari lantaran tidak membawa uang pembayaran SPP.
” Anak saya datangnya saat itu mau sidik jari. Tapi oleh guru tidak boleh karena belum melunasi SPP” kata dia.
Parahnya, peristiwa penahanan ijazah ini ternyata sudah berlangsung dua kali. Anak pertamanya juga pernah mengalami hal yang serupa.
” Pada tahun 2021 juga sudah pernah ijazah anak saya paling besar ditahan akibat tak mampu membayar SPP. Sepuluh bulan uang SPP belum kami lunasi, jadi ijazah ditahan, hingga terancam masuk pengguruan tinggi saat itu ” ujarnya.
Dipertanyakan perihal penyerahan ijazah kepada orang tua siswa tanpa distempel oleh pihak Sekolah kepada Dinas Pendidikan Sumatera Utara melalui Kabid pembinaan SMA Basir Hasibuan mengatakan bahwa pihak sekolah sudah menyerahkan ijazah dan berstempel klaimnya.
” Saya sudah tanya kepsek katanya sudah, boleh juga ABG konfirmasi ke kepsek ” tulis Basir singkat.
Dipertanyakan kembali kepada Kepala Sekolah SMA N 12 Medan Theresia Sinaga dalam sambungan selular namun Theresia bungkam dan tak menjawab. (Ly).