Rachland bingung memulai pertanyaan. Ia tak punya pertanyaan spesifik. Informasi dari intelijen Singapura terlalu umum. Dan, sejujurnya, ia justru ingin mendengarkan informasi yang dimiliki intel perempuan ini. “Jadi saya tanya mengapa pemerintah Belanda terlambat menyerahkan hasil otopsi Munir,” ujarnya.
Melalui Kementerian Luar Negeri, Belanda menyerahkan laporan lengkap The Netherlands Forensic Institute pada 25 November 2004 ke Kedutaan Besar Indonesia. Padahal hasilnya telah disusun sepekan setelah Munir ditemukan meninggal di pesawat Garuda Indonesia dari Singapura ke Amsterdam. Konselor Indonesia di Belanda, Mulya Wirana, mengkonfirmasi bahwa Kementerian Kehakiman menolak memulangkan jenazah Munir dan hasil otopsinya.
Menurut Mulya—kini Duta Besar Indonesia untuk Portugal—pemerintah Belanda khawatir laporan forensik itu membuat pelakunya dihukum mati karena didakwa melakukan pembunuhan berencana. Forensik itu menyebutkan Munir meninggal karena diracun memakai arsenik, yang ditemukan di lambung sebanyak 1,23 gram, dua kali lipat daya tahan tubuh manusia. “Sementara Belanda menolak hukuman mati,” kata Mulya.
Akhirnya, setelah lobi yang berbelit-belit dan tim dari Markas Besar Kepolisian RI bolak-balik menagih, laporan itu dikirim melalui Kedutaan. Mulya yang meneken berkas serah-terimanya. Desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar membentuk tim pencari fakta menguat dengan laporan resmi tersebut.
BACA: Suciwati Desak TPF Bukan Hasil Penyelidikan
Agaknya, bukan sekadar hukuman mati yang membuat pemerintah Belanda ogah menyerahkan otopsi. Intel Belanda yang dibawa Nico Schulte bertemu dengan Rachland itu punya penjelasan lain. “Ada kekhawatiran laporan itu dijadikan bahan untuk kampanye politik,” ujarnya. Rachland baru ingat Munir tewas di sela masa kampanye pemilihan presiden putaran kedua.