Maka, sebelum berangkat ke Dublin, Rachland mengontak Aboeprijadi Santoso, wartawan radio Hilversum asal Indonesia yang tinggal di Amsterdam. Rachland berpesan agar mencari siapa pun kenalan yang punya akses ke Algemene Inlichtingen en Veiligheidsdienst, Dinas Keamanan dan Intelijen Belanda.
Aboeprijadi lalu mengontak Nico Schulte-Nordholt, peneliti sosial Indonesia dari Amsterdam Universiteit. Nico asli Belanda, tapi lahir di Kefamenanu, ibu kota Timor Tengah Utara di Provinsi Timor Barat, pada 1940. Ia lahir ketika ayahnya bekerja di pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada 1936-1947. Selain Indonesianis, Nico aktif di lembaga swadaya hak asasi manusia di Amsterdam.
Karena mengikuti kasus Munir, Nico punya kenalan seorang agen intelijen yang paham seluk-beluk pembunuhan itu. “Dia terlibat sejak awal hingga pemerintah Belanda menyerahkan laporan forensik jenazah Munir,” ujar Nico. Pada 2005, kata dia, intelijen tersebut sudah pindah tugas dari Singapura ke Afganistan.
Nico meminta Rachland datang ke Amsterdam untuk bertemu dengan intelijen tersebut. Sepekan setelah konferensi tersebut, Rachland pun terbang ke ibu kota Belanda itu. Nico mempertemukan mereka di sebuah restoran kecil yang menjadi bagian dari NH Hotel di Kruiswerg 495, Hoofddorp, di dekat Bandar Udara Schiphol. Rachland dan Nico tiba lebih dulu pagi itu. Eropa sedang musim gugur. Cuaca bersahabat karena peralihan dari musim panas menuju dingin.
Yang ditunggu tiba setengah jam kemudian: seorang perempuan blonda berusia 40-an tahun. Rok mininya menunjukkan dengan jelas tato mawar merah di betisnya. Dengan alasan menjaga hubungan baik, Nico menolak menyebutkan identitas intel ini lebih spesifik. Setelah basa-basi berkenalan dan memesan kopi, perempuan berambut panjang itu berkata dalam bahasa Inggris, “Saya hanya akan menjawab pertanyaan yang Anda ajukan, tidak lebih.”