lintas10.com-tepat 12 tahun Munir Said Thalib meninggal. Aktivis hak asasi manusia itu menghembuskan napas terakhir di pesawat Garuda Indonesia yang membawanya dari Bandar Udara Changi ke Belanda. Munir, di usia 38 tahun, hendak melanjutkan studi hukum di Utrecht Universiteit. Ia tewas dengan racun arsenik bersarang di lambungnya.
Majalah Tempo menurunkan laporan khusus untuk merekonstruksi pembunuhan itu dan mencari dalang di baliknya pada edisi 8 Desember 2014—hari untuk mengenang sepuluh tahun pembentukan Tim Pencari Fakta Kematian Munir. Berikut ini salah satu tulisan dari edisi tersebut.
Seorang Intel dengan Tato Mawar di Betisnya
KONFERENSI perlindungan aktivis hak asasi manusia di Dublin, Irlandia, pada 13-15 Oktober 2005, membawa Rachland Nashidik bertemu dengan intelijen Belanda. Direktur Imparsial ini anggota Front Line Defenders, lembaga yang mengadakan pertemuan para aktivis hak asasi dari 70 negara. Konferensi itu antara lain mempelajari kematian Munir Said Thalib, yang tewas diracun di pesawat setahun sebelumnya, dalam menyusun protokol perlindungan aktivis.
Selain memimpin Imparsial—lembaga studi dan advokasi hak asasi di Jakarta—Rachland anggota Tim Pencari Fakta Kasus Munir. Hasil penyelidikan mengirim Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda Indonesia yang menumpang penerbangan GA-974, ke pengadilan dengan dakwaan pembunuhan berencana. “Waktu itu banyak sekali yang memberi petunjuk
Salah satunya tim intelijen Singapura. Menurut Rachland, para intel jiran itu menyarankan Tim menemui seorang intelijen Belanda yang sejak awal menelisik pembunuhan Munir. “Dia mungkin tahu motifnya,” ujar Rachland mengutip intelijen Singapura itu. “Tapi mereka tak memberitahukan siapa intelijen Belanda itu.”