Kisah ARSITEKTUR Cina Yang Tersisa, Opini : Taufik Fathoni (wartawan senior Cirebon).

Top Ten463 kali dibaca

KISAH ARSITEKTUR CINA YANG TERSISA
Opini : Taufik Fathoni (wartawan senior Cirebon).

Secara historis, Cina adalah salah satu bangsa di dunia yang paling erat dan intens hubungannya dengan bangsa Indonesia. Sejak dahulu kala, ketika pemerintahan di Nusantara ini masih berupa kerajaan-kerajaan, orang dari negeri Cina sudah berdatangan dan berinteraksi dengan penduduk Indonesia.

Dalam buku “Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia” disebutkan, pendatang dari Tiongkok itu sudah banyak yang bermukim di Nusantara sejak abad ke-5 Masehi, sebelum era Walisongo dan jauh sebelum datangnya penjajah Belanda. Wajar jika kedekatan hubungan seperti itu kemudian memberikan pengaruh yang membuahkan akulturasi.

Di Cirebon, Jawa Barat, akulturasi tersebut tercermin dalam bentuk Kereta Kencana Paksi Naga Liman. Kereta kebesaran di Keraton Kanoman itu memberikan gambaran bahwa, kebudayaan Cirebon terbentuk dan merupakan perpaduan dari tiga kebudayaan adiluhung di dunia: Paksi atau Burung (Arab), Naga (Cina), Liman atau Gajah (India).

Dengan kata lain, akulturasi tersebut telah membentuk karakter dan budaya tersendiri bagi masyarakat Cirebon. Sehingga, meskipun Cirebon terletak di Pulau Jawa dan pernah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Pajajaran yang Sunda, tapi Cirebon tetaplah Cirebon. Atau dalam istilah budayawan Nurdin M. Noer, “Cirebon is Cerbon, bukan Jawa dan bukan pula Sunda”.

Merasuknya pengaruh kebudayaan Cina dalam kehidupan masyarakat di Cirebon tidaklah terlalu mengherankan. Sebab bahkan Syekh Syarif Hidatullah atau Sunan Gunung Jati yang mendirikan Kesultanan Cirebon memiliki istri putri Cina, Ong Tien Nio. Wajar jika jejak budaya Cina dalam akulturasi di Cirebon masih dapat dilihat sampai saat ini. Di antaranya adalah yang berupa arsitektur.

Dulu, sebelum tahun 1970, di Jl. Pecinan yang letaknya berdekatan dengan Keraton Kanoman dan Peguron Kaprabonan masih banyak terdapat bangunan-bangunan dengan arsitektur Cina. Salah satu cirinya yang paling menonjol adalah bentuk atapnya yang memiliki kemiringan cukup tinggi. Disamping ornamen yang juga khas dengan bentuk naga, burung Hong, Huli-huli atau buah labu yang dikeringkan.

Baca Juga:  Rijal Lubis Kibarkan IJTI Labuhanbatu Raya

Dalam arsitektur Cina, atap memang menjadi bagian yang sangat penting. Bukan sekadar fungsinya untuk menghindari panas dan hujan, tetapi juga mengandung filosofi atau semacam harapan yang ingin diungkapkan oleh penghuninya. Dalam tradisi Tionghoa, atap dipandang sebagai simbol kekuasaan para Dewa, karena fungsinya melindungi siapapun yang berada di bawahnya.

Filosofi dari bentuk atap dalam arsitektur Tiongkok antara lain dijelaskan oleh Benedicta Sophie Marcella, setelah ia melakukan penelitian Klenteng Sam Poo Kong di Semarang. Menurutnya, atap dalam arsitektur Tiongkok itu memiliki tingkatan yang menunjukkan strata sosial penghuninya. Misalnya saja tiga tingkatan atap yang terdapat pada ruang utama tempat persembahyangan Sam Poo Kong, itu menunjukkan kesakralan kelenteng. Karena Sam Poo Kong, atau Cheng Hoo atau sering juga disebut Sam Po Tau Djie dianggap sebagai leluhur.

Sementara bentuk bubungan yang melengkung dimaksudkan sebagai simbol penolak bala. Tapi dalam dalam China Highlights disebutkan, pada masa dinasti Ming (1368-1644 ) dan Qing (1644-1912). atap berbentuk melengkung hanya digunakan untuk istana kerajaan. Sedangkan warna merah melambangkan kebahagiaan, hijau kemakmuran dan umur panjang, dan warna emas sebagai simbol keagungan.

Bangunan dengan ciri-ciri arsitektur seperti itulah yang dulu masih banyak ditemui di Jl. Pecinan Kota Cirebon dan sekitarnya. Tapi akibat pelebaran jalan dan kebijakan Pemerintah Orde Baru yang mencurigai segala macam bentuk budaya Cina, bangunan -bangunan kuno tersebut tidak tersisa lagi dan berganti dengan pertokoan yang sama sekali tidak memiliki ciri arsitektur Cina.

Sekarang ini, arsitektur khas Cina di Cirebon cuma bisa dilihat di klenteng dan vihara. Dan seperti di kota-kota tua lainnya, akulturasi dengan kebudayaan Cina juga terlihat di mesjid-mesjid peninggalan para Wali. Seperti Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, Mesjid Merah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses