Hari Kebebasan Pers di Tengah “Matinya Jurnalisme”

lintas Daerah, Top Ten11 kali dibaca

lintas10.com- Walau sudah lama tak jadi jurnalis, namun jiwa jurnalisme saya masih membara. Jari ini selalu gatal untuk menulis ketimpangan sosial. Zaman sudah berubah, banyak media tutup. Apakah ini gejela “matinya jurnalisme?” Sambil seruput kopi, mari kita bedah Hari Kebebasan Pers.

Setiap 3 Mei 2025, Hari Kebebasan Pers. Tapi alih-alih pesta, mari kita kirim karangan bunga. Karena jurnalisme, sahabat kita yang dulu lantang dan tegas, kini telah tiada. Mati pelan-pelan. Tanpa headline. Tanpa breaking news. Tanpa suara sirene. Ia meninggal di antara berkas PHK, memo internal, dan notifikasi “akun ini telah diverifikasi”.

Jurnalisme bukan dibunuh dalam satu malam. Ia disayat perlahan oleh pisau-pisau halus bernama efisiensi, algoritma, dan self-branding. Siapa butuh media sekarang? Narasumber sudah bisa jadi penyiar, redaktur, editor, sekaligus bintang utama, semua dari satu ringlight dan akun Instagram. Menteri tak perlu wawancara, cukup vlog. Polisi tak perlu konferensi pers, cukup TikTok. Lembaga cukup punya channel YouTube dan admin yang bisa main Canva.

Lantas, jurnalis? Mereka jadi pengikut yang memantau akun resmi, menanti rilis, lalu menulis ulang dengan judul yang bisa bersaing dengan konten gosip dan giveaway. Investigasi? Terlalu mahal. Narasi kritis? Tak ada sponsor. Maka kita lihat berita macam, “Anak Kucing Jatuh dari Kasur, Netizen Gemas” dilengkapi galeri dan infografis.

Sementara itu, tsunami PHK melanda ruang redaksi. Kompas TV? 150 orang dirumahkan. CNN Indonesia TV? 200 karyawan pulang tanpa naskah perpisahan. MNC Group? 400 jiwa kehilangan ID card redaksi. Republika, TVRI, Viva.co.id, semuanya satu per satu menutup pintu bagi para penjaga kebenaran.

Ada yang bilang ini disrupsi digital. Tapi lebih tepatnya ini pembantaian institusional. Dulu, wartawan digadang-gadang sebagai pilar demokrasi. Kini, mereka lebih dekat ke status pengangguran terdidik. Dulu wartawan mengangkat suara rakyat. Kini, mereka malah sibuk memperbaiki CV dan mencari kerja di bidang “content strategy” atau “public relation” bekerja untuk pihak yang dulu mereka kritisi.

Baca Juga:  Irjen Martuani Sormin Cek Prokes di Ponpes Darrus Solihin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses