Dalam menjalankan aksinya, wartawan gadungan tidak memiliki etika. Asal nyeplos bahkan sering mengancam akan mempublikasikan persoalan yang diketahuinya. Namun, aksi tersebut hanya sebuah lakonan guna menekan mental sumber berita. Ujung-ujungnya meminta uang, seperti debt collector (penagih utang).
Diperparah dengan sikap tidak tahu malu. Dengan percaya diri, mereka mengaku sebagai wartawan meski tidak memiliki media. Hanya bermodalkan nekad, mereka menemui pejabat dan pengusaha yang dianggap bisa ‘diolah’.
Pada umumnya mereka tidak tahu menulis berita (reportase). Untuk menghilangkan kesan tersebut, wartawan gadungan biasanya lebih menonjolkan sikap sok tahu dari pada pengetahuan sebenarnya, bahkan kadang kadang dengan kondisi mabuk.
Antisipasi :
Untuk mengetahui wartawan gadungan atau bukan, masyarakat diimbau agar meminta kartu identitas dan kartu pers yang masih berlaku jika berhadapan dengan seseorang yang mengaku sebagai wartawan.
Namun masyarakat jangan mudah menilai seseorang adalah wartawan, hanya karena memiliki kartu pers. Sebab kartu pers bisa dibeli atau dicetak sendiri untuk tujuan-tujuan tertentu, untuk itu, mintalah koran, tabloid atau majalah (bagi yang mengaku wartawan media cetak). Lalu lihat nama serta karya jurnalistiknya di media tersebut. Hal itu perlu dilakukan guna mengetahui apakah wartawan dimaksud benar-benar pekerja pers atau wartawan gadungan.
Kemudian hubungi nomor telepon redaksi yang ada di kartu pers, atau surat penugasan, untuk menanyakan kepada pimpinan atau sekretaris redaksi, apakah yang bersangkutan memang wartawan media tersebut atau bukan. Atau bisa dilihat pada websitenya. (Fathul Ridhoni)