Vonis itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009. Setahun setelahnya, hakim agung Harifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto menguatkan vonis itu. Sayang, ada salah ketik di amar sehingga tak bisa dieksekusi. Seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi tertulis Rp 185.918.904.
Jaksa Agung mengajukan PK atas kesalahan ketik itu. Pada Agustus 2015, MA memperbaiki salah ketik itu, menjadi:
“Menghukum Tergugat II (Yayasan Supersemar) untuk membayar kepada Penggugat (Republik Indonesia) sejumlah 75 persen x US $ 420.002.910,64 = US $ 315.002.183,00 dan 75 persen x Rp 185.918.048.904,75 = Rp139.438.536.678,56,” putus ketua majelis Suwardi dengan anggota Mahdi Soroinda Nasution dan Sultoni Mohdally.
Namun cerita belum berakir. Yayasan Supersemar mengajukan perlawanan eksekusi pada 2016.
Pada 29 Juni 2016, PN Jaksel mengabulkan perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar sudah menyalurkan dana pendidikan ke yang berhak.
Tapi pada 19 Oktober 2017, MA menolak perlawan eksekusi Yayasan Supersemar itu. Menurut MA, perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar nebis in idem.
“Sehingga putusan perkara a quo nebis ini idem,” ujar majelis dengan suara bulat.
Mengantongi putusan itu, Jaksa Agung mengajukan permohonan eksekusi. Perlahan, uang negara yang diselewengkan yayasan bisa diambil kembali.
“Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, telah berhasil melaksanakan pemulihan keuangan Negara dari beberapa rekening deposito/giro/rekening milik Yayasan Supersemar/Yayasan Beasiswa Supersemar di bank dengan total keseluruhan sebesar Rp 241.870.290.793,62 yang saat ini berada di rekening Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan rekening RPL 175 PN,” kata Kapuspenkum Kejagung, M Rum pada Maret 2018.