Memisahkan Yang Profan Dari Yang Sakral (Kasus Tari Kajongan)

lintas Jawa Barat336 kali dibaca

Oleh: Taufik Fathoni

Almarhum Nurcholis Majid pernah melontarkan pemikiran yang mengundang kontroversi. Yakni tentang konsep sekularisasi yang kemudian disalah-pahami sebagai sekularisme.

Bagi Cak Nur, demikian beliau akrab disapa, sekularisasi adalah upaya memisahkan sesuatu yang bersifat profan dari yang sakral atau suci (sacred). Contoh konkretnya adalah pernyataan “Islam yes, partai Islam no” yang juga ramai diperbincangkan.

Dari pernyataannya itu Cak Nur tampak sekali ingin lebih menegaskan konsep sekularisasinya. Dalam pandangan Cak Nur, semua partai politik, termasuk yang dilabeli sebagai partai Islam, adalah sesuatu yang profan. Walaupun di belakangnya diberi merek “Islam”, tidak serta merta akan menjadikannya sebagai sesuatu yang sakral.

Dengan demikian, umat Islam yang tidak mencoblos partai Islam tidaklah berdosa. Karena memang partai politik itu bukanlah agama yang harus diimani. Demikianlah kira-kira yang ingin ditegaskan Nurcholis Majid lewat pernyataannya “Islam yes, partai Islam no”.

Mensakralkan sesuatu yang profan ternyata memang dapat menimbulkan kerugian. Saya menemukan buktinya dalam dunia kesenian. Dulu, di Keraton Kanoman ada kesenian yang disebut “Tari Kajongan”. Jenis tarian tersebut dianggap sakral, dan hanya boleh dipelajari oleh keluarga keraton sendiri. Masyarakat di luar keraton ‘pamali’ untuk ikut mempelajarinya.

Ketika keluarga keraton sendiri tidak ada lagi yang mempelajarinya, Tari Kajongan yang merupakan salah satu kekayaan budaya Cirebon itu pun punah. Tidak ada yang mengenalinya lagi.

Beberapa tahun lalu keluarga Keraton Kanoman berinisiatif untuk menemukan kembali kekayaan yang telah hilang itu. Melalui upaya revitalisasi, gerakan-gerakan Tari Kajongan dicoba untuk direkontruksi. Tapi hasilnya tidak memuaskan. Pinisepuh dari keluarga keraton yang dulu selagi muda pernah mempelajarinya, sekarang karena faktor usia sudah tidak mengingatnya lagi. Kekayaan dari khazanah budaya Cirebon itu pun hilang, tidak dapat ditemukan lagi.

Baca Juga:  Sejumlah Anggota Dewan Positif Covid-19, Gedung DPRD Kab. Cirebon Lockdown

Berbeda dengan banyak kesenian rakyat seperti Tari Topeng, Tarling, Lais, Angklung Bungko dan lainnya. Semua jenis kesenian yang memang profan itu sejak dulunya ditempatkan dan dipandang sebagai sesuatu yang profan pula. Siapa pun boleh mempelajari atau mengajarkannya kepada orang lain. Sehingga sampai sekarang kita masih dapat menyaksikannya.

Rupanya kita memang tidak boleh mencampur-adukkan apa pun yang sifatnya profan dengan sesuatu yang sakral atau suci. Apalagi mencampur-adukkan kepentingan politik yang orientasinya pada kekuasaan, dengan kesucian agama. ***











Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses