Setya Novanto adalah pilihan peserta Munas Partai Golkar yang terpilih secara demokratis dan bersaing dengan 7 caketum lainnya, sehingga layak mendapat perlakuan adil dari publik. Setnov juga bukan figur yang muncul tiba-tiba, melainkan sudah berproses lama di partai dan parlemen dengan segenap prestasi dan kekurangannya. Bahkan hingga kini, tuduhan koruptor pada Setnov hanya lah dugaan semata, tanpa dasar hukum yang kuat apalagi proses peradilan.
Partai Golkar, pasca kejatuhan Soeharto sudah terbiasa menjadi musuh publik, termasuk sejumlah ketua umumnya yang dicap jelek masyarakat. Masih terang ingatan kita pada kasus korupsi Bulog yang dituduhkan pada Akbar Tanjung namun tidak terbukti. Lalu Jusuf Kalla yang dilabeli julukan ‘jirigen kosong’ akibat keberaniannya mengkonversi BBM ke gas. Aburizal Bakrie juga tak luput dari cercaan atas kasus Lapindo, padahal Bakrie Group membayar 10 kali NGOP tanah warga yang terdampak semburan lumpur.
Partai Golkar sudah terbiasa menerima permusuhan, terutama dari pihak-pihak yang tidak ingin Golkar bangkit dan kembali menjadi partai pemenang pemilu. Pada saat yang sama, para ketua umum Partai Golkar pasca reformasi juga bukanlah figur yang memperdulikan citra pribadi, mereka hanya fokus pada memaksimalkan peran Golkar bagi kepentingan bangsa dan negara. Setelah musuh-musuh Golkar bertepuk tangan ketika mengalami perpecahan, maka kini serangan dialihkan pada personalitas figur-figur sentral kepengurusan Golkar.
Penulis : Ton Abdillah
Ketum Angkatan Muda MDI.
Demisioner departemen Pemuda DPP PG, mantan ketua umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 2010-2012