Sejatinya prinsip transparansi dan keterbukaan di era demokrasi harus menjadi pilar utama, karena hal demikian akan berdampak pada kualitas pejabat publik. Sudah saatnya calon pejabat publik merupakan sosok yang memiliki kapasitas yang memadai karena ia dipilih dari proses demokrasi yang secara prosedural dan substansi berkualitas.
Padahal praktik demokrasi terbuka di Indonesia sudah berjalan selama 23 tahun. Bila diibaratkan sebuah rumah, Indonesia hari ini sejatinya sudah bersih, terang dan penuh cahaya, serta tidak ada lagi ruang kumuh yang tertutup sebagai tempat yang nyaman bagi tikus dan kecoa.
Tapi pada kenyataannya korupsi masih terjadi secara masif bahkan cendrung meningkat baik jumlah maupun derajat daya rusak yang diakibatkannya. Hal ini terjadi oleh tiga penyebab utama. Pertama, masih ada masalah dalam regulasi. Kedua, ada masalah dalam pelembagaan demokrasi. Ketiga, budaya antikorupsi belum tumbuh subur dan mapan di tengah masyarakat kita. Gagasan ini bukanlah didasari atas pretensi politik, apalagi pretensi politik praktis. Ini bukan pula berupaya memasuki ranah kamar politik atau kamar kekuasaan yudikatif.
Gagasan ini semata – mata lahir dari perenungan dan pergulatan batin yang panjang atas keprihatinan dengan kondisi aktual di daerah. Banyak laporan dan keluhan yang menyoal mahalnya biaya pemilihan umum yang kemudian mendorong lahirnya perilaku koruptif.
KPK kerap menyerap informasi dan keluhan langsung dari rumpun legislatif dan eksekutif di daerah yang mengeluhkan biaya Pilkada yang sangat mahal sehingga membutuhkan modal besar.
Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang hal yang pertama menjadi misi seorang kepala daerah adalah balik modal. Di sisi lain mencari bantuan modal dari “bohir politik” akan mengikat politisi di eksekutif dan legislatif dalam budaya balas budi yang korup.