“Ironis, saat Kodam berupaya membantu menegakkan aturan, menyelamatkan orang kepentingan bahkan masa depan orang banyak dari kejahatan peredaran Miras Ilegal, malah digugat,” tegas Aidi.
“Namun hal itu dinilai merupakan risiko dalam melaksanakan tugas,” sambungnya.
Ditambahkan Kapendam, ketika upaya Pomdam mencegah dan menyelamatkan
warga Papua ini dianggap melanggar HAM, namun pelaku pengedar Miras Ilegal yang akan merusak ratusan bahkan ribuan warga Papua justru dianggap benar dan tidak melanggar HAM.
“Dari putusan sidang maka dapat menggambarkan Pomdam dianggap melanggar HAM dan pengadilan lebih memilih menghukum pihak yang melakukan pelanggaran HAM terhadap 1 orang, yang mana orang tersebut telah dan berpotensi melakukan pelanggaran HAM bahkan merusak moral dan kehidupan terhadap ratusan bahkan ribuan orang,” tegasnya.
Aidi menjelaskan juga, bahwa tindakan penahanan terhadap 2 kontainer Miras tersebut telah berdasarkan Perda Provinsi Papua dan Pakta Integritas yang ditanda tangani hampir seluruh pejabat di Papua.
“Namun ternyata Perda Prov. Papua hanya sekedar retorika tanpa makna, nyatanya tidak bisa dipakai atau diaplikasikan di lapangan,” tegas alumni Akmil 1996 ini.
Lebih lanjut disampaikan, hampir seluruh pejabat di Papua mulai dari Gubernur sampai Ketua DPRD Kabupaten, termasuk Pangdam XVII/Cen telah menandatangani
Pakta Integritas yang menyatakan peduli terhadap dampak negatif Miras di Papua.
“Jika seperti ini, maka tandatangan Pakta Integritas tersebut, seolah-olah sekedar sensasi, karena PN sendiri turut tanda tangan,” ujar Aidi.
Dalam penjelasannya, Aidi menyampaikan bahwa Kodam XVII/Cen masih bisa tegak kepala karena menunjukkan komitmennya, sementara itu PN dalam hal ini Hakim Tunggal Praperadilan menafikan bahwa PN harus wujudkan janji dan komitmen mereka sebagaimana isi Pakta Integritas yang mereka tanda tangani.