“CSR itu bukan dana sukarela yang bebas digunakan. Ada dasar hukum yang jelas yang harus dipatuhi oleh setiap perusahaan, terutama BUMN,” ujarnya.
Akbar merujuk pada beberapa regulasi yang menjadi dasar pengelolaan dana CSR, di antaranya:
* Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mewajibkan setiap perseroan yang menjalankan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL);
* PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang TJSL, yang mengatur teknis pelaksanaan tanggung jawab sosial oleh perseroan;
* UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya Pasal 88 mengenai Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL);
* dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang memberikan hak kepada publik untuk mengetahui penggunaan dana CSR secara rinci dan terbuka.
Dalam pandangannya, transparansi adalah kunci. Ia menyebut, tak sedikit masyarakat di daerah operasi PTPN yang belum mengetahui secara pasti bagaimana dana CSR dikucurkan, ke mana arah programnya, dan siapa penerima manfaat sebenarnya.
“Kita bicara soal dana yang seharusnya mengangkat kesejahteraan masyarakat. Kalau dikelola tertutup, itu bukan tanggung jawab sosial, itu pembodohan sosial,” tegasnya lagi.
Mengingat pernah tercatatnya pelanggaran lingkungan eks PTPN 5 ini pada 2019 lalu yakni dugaan pembuangan limbah secara sembarangan, Akbar mengingatkan bahwa integritas korporasi harus dimulai dari keseriusan menjalankan aturan dan kewajiban sosial secara utuh, bukan hanya di atas kertas.
“Kami tidak anti-investasi, tapi kami menuntut tanggung jawab. CSR harus jadi instrumen keadilan sosial, bukan alat pencitraan korporasi,” tutupnya. (R)